24.11.09

Kesesatan Penalaran Hukum

Foto: papundits.wordpress.com
LATIHAN 1:
Pada tahun 2003, sebanyak 28 orang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. Pasal itu melarang bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya, atau orang yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam G-30-S/PKI atau organisasi terlarang lainnya untuk menjadi anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Pasal 60 huruf g ini dipandang tidak sejalan dengan Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan: ”Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Demikian juga dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang pada intinya melarang tindakan diskriminatif.

Putusan MK No. 011-017/PUU-I/2003 mengabulkan permohonan ini dan menyatakan Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun, seorang hakim MK memberikan dissenting opinion dengan menyatakan hal-hal yang antara lain pada pokoknya sebagai berikut:

[1] Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003 tidak bertentangan dengan Pasal 27 dan Pasal 28 UUD 1945. Hal ini karena ketentuan pasal-pasal dalam UUD 1945 itu harus dikaitkan secara sistematis dengan pasal-pasal lain, yakni Pasal 22E ayat (6) yang menyatakan: ”Ketentuan lebih lanjut tentang Pemilu diatur dengan undang-undang.” Pasal 22E ini memberi wewenang kepada pembuat undang-undang untuk melakukan pembatasan bagi setiap orang dalam menjalankan haknya dengan pertimbangan tertentu. Adapun salah satu pertimbangan yang bisa digunakan sebagai dasar pembatasan itu adalah pertimbangan keamanan dan ketertiban umum.
[2] Pembatasan terhadap hak-hak warganegara juga dibenarkan karena terjadi juga di negara lain, termasuk di negara demokratis. Dari keterangan ahli selama di persidangan (Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J.), terungkap bahwa di Jerman, setidak-tidaknya selama pendudukan Sekutu (1945-1949) dan di awal era Republik Federasi Jerman (1949-1953) telah dilakukan tindakan de-NAZI-fikasi, yang antara lain berupa pembatasan terhadap bekas anggota Partai Nazi untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu (misalnya jabatan menteri).
[3] Pembatasan yang ditentukan oleh pembentuk UU No. 12 Tahun 2003 bukanlah pembatasan yang bersifat permanen, melainkan pembatasan yang bersifat situasional, yang dikaitkan dengan intensitas peluang penyebaran kembali faham (ideologi) Komunisme/Marxisme/Leninisme dan konsolidasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebagaimana diketahui, penyebaran ideologi-ideologi tersebut tidak dikehendaki oleh rakyat Indonesia dengan tetap diberlakukannya TAP MPRS XXV/MPRS/1966.

Apakah Anda menemukan kesesatan-kesesatan (fallacies) dalam penalaran hukum di atas? Beri ulasannya!


LATIHAN 2:
Pada tahun 1994 Mahkamah Agung RI mengeluarkan putusan tentang kasus Kedung Ombo. Kasus ini bermula 20 tahun sebelumnya, tatkala Pemerintah ingin membangun waduk raksasa seluas 7.900 km persegi di Jawa Tengah. Proyek ini memaksa sekitar 5.268 kepala keluarga harus meninggalkan tanah mereka. Pemerintah mendesak agar proyek segera dilaksanakan, sehingga tanah-tanah rakyat ini dibebaskan. Karena ganti rugi yang dinilai tidak wajar, sebagian rakyat menolak untuk mengungsi. Sebanyak 34 warga setempat lalu mengajukan gugatan perdata ke pengadilan dan akhirnya berujung di Mahkmah Agung, baik melalui putusan kasasi maupun peninjauan kembali.

Ada banyak hal yang menarik yang muncul dari pengungkapan fakta-fakta pada kasus ini. Coba kenali sebanyak mungkin apakah ada kesesatan penalaran yang muncul dari uraian berikut ini:

[1] Para penggugat menyatakan bahwa mereka adalah pemilik sah atas tanah, bangunan, dan tanaman di area waduk. Mereka juga sudah turun-temurun menetap di daerah itu. Sebaliknya pihak pemerintah (tergugat) berpendapat bahwa sebagian besar dari penggugat adalah mereka yang tidak sah tinggal di sana karena mereka tidak memiliki sertifikat hak milik atas tanah itu. Mereka hanya dapat menunjukkan leter C desa.
[2] Para Penggugat menyatakan ganti rugi sebesar Rp250 (dua ratus lima puluh rupiah) per meter persegi adalah nilai yang tidak manusiawi. Pemerintah sebaliknya mengatakan, bahwa nilai ganti rugi ini adalah hasil musyawarah dan proyek waduk ini adalah untuk kepentingan umum (dalam UUPA dinyatakan tanah mempunyai fungsi sosial). Penggugat mengakui bahwa musyawarah memang pernah terjadi, tetapi hanya formalitas saja. Bahkan mereka merasa diintimasi dengan hadirnya aparat keamanan berseragam pada saat ”musyawarah” itu berlangsung. Pemerintah mengatakan kehadiran aparat hanya untuk pengamanan, bukan untuk intimidasi.
[3] Pemerintah mengatakan para penggugat ini hanya sebagian kecil saja dari masyarakat Kedung Ombo yang taat pada hukum. Buktinya, sudah banyak warga lain (di luar penggugat) yang patuh mengambil uang ganti rugi yang dititipkan (dikonsinyasi) Pemerintah di Pengadilan Negeri Boyolali. Para penggugat mengatakan bahwa masyarakat mengikuti kemauan pemerintah karena terpaksa. Bahkan, suatu ketika Camat Kemusu sempat mengancam penduduk, ”Apabila ganti rugi tidak diterima, maka akan dikenakan penjara 3 bulan dan denda Rp10 ribu, dan setelah keluar dari penjara hak miliknya hilang.” Presiden RI waktu itu, Soeharto mengatakan, ”Kalau kita paksakan untuk membayar [ganti rugi sesuai tuntutan masyarakat], tentunya itu juga memakai uang rakyat. Ini sama saja artinya dengan memperkecil kemampuan kita dalam melaksanakan pembangunan.”