10.12.11

Silogisme Pasal 1339 KUH Perdata

Soal Nomor 1:  Perhatikan dengan saksama informasi di bawah ini. Anda diminta untuk menyusunnya kembali menjadi suatu rangkaian silogisme kategoris baku (model I).      

Pasal 1339
KUH Perdata

Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.
Ali membeli sebidang tanah milik Badu seharga Rp250 juta. Informasi tentang tanah ini diperolehnya dari tetangga Badu bernama Chandra. Setelah transaksi tanah jadi dilakukan, Chandra lalu menggugat Badu (tergugat I) dan Ali (tergugat II) karena kedua orang itu tidak memberikannya uang jasa makelar sebesar Rp2,5 juta. Dasar yang dipakai Chandra adalah Pasal 1339 KUH Perdata. Namun, Badu dan Ali mengatakan uang jasa makelar tidak diatur dalam UU. Kalaupun ada, dasarnya sukarela dan paling hanya 2,5 persen dari harga jual tanah. Tunjukkan argumentasi yang disampaikan oleh pihak tergugat untuk menolak gugatan Chandra!
Premis mayor

Premis minor

Konklusi


4.12.11

Tugas Silogisme Putusan MA No. 658 K/Pdt/2006

Putusan Mahkamah Agung Nomor 658 K/Pdt/2006 (tanggal 8 September 2006) mengadili di tingkat kasasi kasus perdata gugatan dari Chan Wai Khan terhadap PT (Persero) Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia dan PT Trophy Tour. Dalam tugas kelompok, mahasiswa telah diminta membuat kronologis kasusnya. Oleh sebab itu dalam blog ini kronologis kasus tersebut tidak lagi dibentangkan.

Di Pengadilan Negeri Medan dan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, pihak penggugat telah dikalahkan. Putusan MA ini juga tidak mengabulkan gugatan penggugat/pembanding/pemohon kasasi. Dalam analisis di bawah ini dapat diperhatikan bahwa pertimbangan majelis hakim kasasi sangat minimalis. Majelis hakim kasasi sama sekali tidak membahas pokok perkara yang diajukan pihak penggugat, melainkan lebih berdalih di balik ketentuan prosedural formal Pasal 30 UU Mahkamah Agung. Hal-hal demikian sangat lazim ditemukan dalam putusan-putusan kasasi. 

10.4.11

Pola Penalaran yang Mengandung Penemuan Hukum

Dalam perkuliahan di kelas telah dibahas tentang metode penemuan hukum. Pada dasarnya, penemuan hukum dilakukan dalam hal ada unsur atau terma dalam suatu peristiwa hukum yang memerlukan penjelasan lebih jauh daripada sekadar makna yang tersaji di dalam norma-norma hukum yang ada, khususnya norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan. Hal ini dapat terjadi dalam keadaan ketidakjelasan (multitafsir) dari norma hukum itu atau dalam keadaan kevakuman.

13.2.11

Kospin vs. Taryono

Dalam perkuliahan, kita telah membahas langkah-langkah penalaran. Pada hakikatnya ada enam langkah penalaran hukum itu:
  1. mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini sebagai kasus yang riil terjadi;
  2. menghubungkan (mensubsumsi) stuktur kasus tersebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term);
  3. menyeleksi sumber hukum atau aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren;
  4. menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus;
  5. mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin; dan
  6. menetapkan pilihan atas salah satu alterntif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.
(Penjelasan tentang langkah-langkah ini dapat dibaca dari buku: Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung: Utomo, 2005, hlm. 197 et seq.).