25.4.10

Latihan Minggu ke-8: Menetapkan Struktur Aturan (kelas A)

Latihan perkuliahan Penalaran Hukum kelas A pada minggu lalu mengambil contoh kasus dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (selanjutnya disingkat UUKDRT). Berbeda dengan latihan-latihan sebelumnya yang sudah ditunjukkan acuan ketentuan normatif yang akan diterapkan sebagai premis mayor, pada latihan kali ini mahasiswa sendirilah yang diminta mengidentifikasi ketentuan-ketentuan tersebut. Dengan demikian, setelah membaca fakta-fakta yang tersaji, mahasiswa diminta memastikan terlebih dulu apakah benar peristiwa tersebut benar merupakan peristiwa hukum dan bukan peristiwa konkret biasa. Untuk keperluan ini, ketentuan-ketentuan dalam UUKDRT perlu disimak secara cermat dan komprehensif. Peta konsep UUKDRT yang dulu pernah dibuat sebagai tugas kelompok (jika dibuat secara benar), tentu akan sangat membantu proses identifikasi ini. Hasil identifikasi tersebut akan berujung pada satu atau beberapa kualifikasi tindak pidana KDRT yang dapat dikenakan terhadap PELAKU. Selanjutnya, setiap kualifikasi ini dapat dibuatkan struktur aturannya dengan menentukan unsur subjek norma, modus perilaku, objek norma, dan kondisi norma. Untuk itu simak contoh kasus berikut ini: 

Andini sebelum menikah adalah seorang wanita karier di sebuah perusahaan multinasional. Tiga tahun lalu, sejak menikah dengan Haryadi, ia memutuskan untuk berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga. Satu tahun terakhir ini, Andini dan Haryadi sering bertengkar karena Andini memaksakan diri untuk kembali bekerja di perusahaannya dulu, sedangkan Haryadi melarangnya. Haryadi merasa uang belanja yang diberikannya setiap bulan (Rp5 juta) secara rutin sudah cukup untuk menghidupi keluarga mereka. Andini tidak menerima alasan ini dan balik menuduh suaminya khawatir tersaingi dengan penghasilannya nanti. Ucapan ini menyinggung perasaan Haryadi sehingga puncaknya mereka bertengkar hebat dua minggu lalu. Pada saat itu Andini mendorong tubuh Haryadi, namun Haryadi mengelak sehingga Andini justru jatuh terpeleset dan kakinya terkilir. Melihat Andini terjatuh, Haryadi langsung pergi tanpa mempedulikan isterinya. Perilaku ini disaksikan ibu Andini (mertua Haryadi) yang tinggal bersama mereka, sehingga sang ibu berinisiatif mengadukan kasus ini ke polisi. Andini sendiri semula berkeberatan dengan aduan ibunya, namun akhirnya ia bersedia juga divisum dan diajak ke kantor polisi.

Dalam diskusi kelompok di kelas tanggal 23 April 2010 yang lalu, sebagian mahasiswa berhasil mengiventarisasi beberapa ketentuan dalam UUKDRT. Ada beberapa kelompok yang berargumentasi bahwa fakta Haryadi meninggalkan isterinya dalam keadaan terkilir memenuhi kualifikasi ia telah melakukan perbuatan kekerasan fisik terhadap Andini. Namun, sebagian lagi berpendapat fakta itu tidak cukup kuat untuk menuduh Haryadi telah melakukan perbuatan kekerasan fisik, mengingat kaki yang terkilir itu bukan disebabkan oleh perbuatan Haryadi, melainkan akibat tindakan Andini sendiri. Kelompok ini lebih cenderung mengkualifikasikan Haryadi telah melakukan perbuatan kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga. Mengingat kita lebih menekankan pada aspek penalaran hukum, hasil kualifikasi mahasiswa di atas tidak akan menjadi topik bahasan, namun perlu disadari bahwa makin banyak kualifikasi tindak pidana yang ditetapkan, maka makin banyak pula struktur aturan yang harus dibuat (termasuk silogisme yang akan disusun kemudian). Identifikasi pasal-pasal terkait yang berhasil disusun adalah:
(1) Kekerasan fisik: Pasal 44 ayat (1) jo Pasal 6, Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 1 butir 1 UUKDRT.
(2) Kekerasan psikis: Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 7, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 1 butir 1 UUKDRT.
(3) Penelantaran rumah tangga: Pasal 49 huruf a jo Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 1 butir 1 UUKDRT.
Dalam diskusi sempat dipersoalkan apakah ketentuan Pasal 49 huruf a atau huruf b yang lebih tepat untuk konteks contoh kasus di atas. Pasal 49 huruf a menunjuk pada Pasal 9 ayat (1), sedangkan Pasal 49 huruf b menunjuk pada Pasal 9 ayat (2), namun keduanya diancam dengan bobot sanksi yang sama. Jika dicermati dengan saksama, ternyata Pasal 9 ayat (1) lebih berdimensi sebagai delik formal, sedangkan Pasal 9 ayat (2) cenderung berdimensi delik material (mensyaratkan adanya akibat ketergantungan ekonomi). Kebetulan pada contoh kasus di atas, PELAKU dapat diidentifikasi telah melanggar baik ketentuan Pasal 9 ayat (1) maupun ayat (2). Namun, persoalan timbul tatkala kita memperhatikan kata-kata "ORANG LAIN" sebagaimana tercantum dalam Pasal 49 huruf b. Tidak jelas di sini apakah kata "orang lain" di sini berbeda dengan kata-kata "ORANG LAIN DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA" di dalam Pasal 49 huruf a. Ada pendapat dalam diskusi di kelas minggu lalu, bahwa kata "orang lain" dalam Pasal 49 huruf b tersebut mengacu pada orang-orang yang termasuk dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf c dan Pasal 2 ayat (2) UUKDRT. Atas dasar kekhawatiran inilah maka akan lebih "aman" untuk tidak menggunakan ketentuan Pasal 49 huruf b tersebut.
Perlu diingat bahwa dalam hukum acara pidana, ada kemungkinan (biasanya dilakukan oleh penuntut umum) untuk memastikan model dakwaan seperti apa yang tepat diajukan kepada PELAKU. Dalam literatur dikenal ada dakwaan tunggal, dakwaan alternatif, dakwaan subsidaritas, dan dakwaan kumulatif. Di luar itu ada model gabungan/campuran dari model-model di atas. Untuk keperluan latihan ini sengaja dipilih model alternatif agar setiap kualifikasi dapat dibuatkan satu struktur aturan tersendiri. Struktur aturan dapat dibuat dengan "alat bantu" dengan mencari unsur-unsur normanya, yaitu:
(1) sasaran atau subjek norma (normadressaat);
(2) modus perilaku atau operator norma (modus van behoren);
(3) objek norma (normgedrag); dan
(4) kondisi norma (normcondities).
Hasil dari penyusunan struktur aturan tersebut akan tampak sebagai berikut:
Tugas selanjutnya dalam latihan ini adalah menyusun silogisme secara terinci untuk setiap tindak pidana di atas. Jadikan setiap rincian struktur aturan tersebut sebagai premis mayornya, dan fakta pada contoh kasus sebagai premis minornya. Silogisme pertama-tama dibuat untuk unsur: (1) sasaran norma, (2) objek norma, dan (3) kondisi norma. Satu demi satu silogisme itu harus menunjukkan ada konklusi yang membuktikan semua unsur-unsur itu terbukti. Jika semua silogisme di atas sudah dirumuskan, maka terakhir tunjukkan bahwa modus perilaku dari pelaku (dalam hal ini  HARYADI) adalah sesuatu yang terlarang dan untuk itu diancam dengan sanksi pidana yang berlaku. Perhatikan bahwa jika ada rincian objek norma atau kondisi norma yang disusun secara disjunktif (menggunakan kata "...atau...") maka cukup dibuatkan silogisme untuk unsur yang relevan saja dengan fakta yang tersaji. Contoh: "menderita psikis berat" adalah unsur yang tercantum dalam struktur aturan, tetapi dapat diabaikan karena tidak relevan dengan fakta yang terjadi, sehingga tidak perlu dibuatkan silogismenya.