14.5.10

Ujian Akhir Semester Genap 2009/2010

Keterangan:
Ada dua soal yang disajikan. Soal pertama hanya ingin mengukur kecermatan mahasiswa dalam menyusun sebuah silogisme standar. Untuk menjawab soal pertama dalam ujian ini, mahasiswa disarankan membawa copy putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 803/Pid.B/2008/PN.PLG (kasus KDRT) yang sebelumnya telah dibagikan kepada para mahasiswa. Soal kedua, tentang kesesatan penalaran.  Pada soal kedua ini mahasiswa diminta untuk mengidentifikasi kesesatan-kesesatan penalaran yang lazim dikenal dalam logika pada umumnya, dan selanjutnya mahasiswa diminta memberi catatan apakah kesesatan-kesesatan tersebut dapat "ditoleransi" menurut ilmu hukum. Untuk membuat catatan tersebut, mahasiswa misalnya dapat mengacu "pembenaran" sebagaimana ditetapkan menurut asas-asas hukum. Contoh: asas unus testis nullus testis dapat dipakai untuk "membenarkan" kesesatan dalam argumentum ad ignoratiam. Sebagaimana layaknya sebuah catatan, tentu mahasiswa diharapkan dapat mengelaborasi jawaban masing-masing (berupa uraian) dan tidak sekadar menyebutkan. Selamat ujian!

Bunyi soalnya adalah sebagai berikut:

  1. Soal ini terkait dengan putusan Pengadilan Negeri Palembang No. 803/Pid.B/2008/PN.PLG (copy putusan ini sudah dimiliki oleh setiap mahasiswa). Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan dalam bentuk subsidaritas. Pada saat menimbang dakwaan primer, ada SATU UNSUR yang menurut majelis hakim TIDAK TERPENUHI. Susunlah silogisme kategoris bentuk pertama yang memperlihatkan cara berpikir majelis hakim terkait pembuktian satu unsur tersebut. Premis mayor yang ditetapkan berbunyi: "Semua tindakan yang mengakibatkan korban berhalangan menjalankan pekerjaan jabatan, mata pencaharian, atau kegiatan sehari-hari ADALAH perbuatan kekerasan fisik sebagaimana dimaksud Pasal 44 ayat (1) UUKDRT." Sekarang lengkapi premis minor dan konklusinya! 
  2. Baca baik-baik cerita di bawah ini. Selanjutnya: (a) sebutkan nama-nama kesesatan penalaran yang terindentifikasi di dalam cerita itu (minimal 5); (b) tunjukkan pada bagian mana dari cerita tersebut Anda dapat mengidentifikasi kesesatan-kesesatan itu; dan (c) jelaskan apakah ada kesesatan-kesesatan tertentu yang dapat "ditoleransi" di dalam penalaran hukum!
  • Sulastri sering mendapat perlakuan kasar dari suaminya, Hardi. Karena tidak tahan dengan perlakuan ini Sulastri diam-diam melaporkan tindakan Hardi itu kepada isteri lurah setempat. Bu Lurah lalu mencatat laporan itu dan meminta tanda tangan Sulastri. Bu Lurah lalu meneruskan laporan ini kepada Pak Lurah. Keesokan harinya laporan ini disampaikan oleh lurah kepada Kepolisian. Polisi menolak laporan yang diwakilkan seperti ini. Menurut polisi, UUKDRT mengharuskan laporan diajukan sendiri oleh isteri. Lurah ini mempersilakan polisi berbicara langsung via telepon dengan Sulastri. Polisi menolak dengan mengatakan jika Sulastri tidak berani datang melapor sendiri itu, berarti ia tidak punya bukti tentang kesalahan suaminya. Akhirnya, Sulastri datang juga melapor. Sulastri sempat dinasihati seorang polisi, yaitu kenalan baik Hardi, agar membatalkan saja rencana membawa kasus ini ke ranah hukum. "Apa kamu tidak khawatir suamimu kehilangan pekerjaan karena dipenjara?" tanya polisi itu. "Lagi pula, adalah jamak jika sesekali suami marah dan memukul isterinya. Yang penting tidak sampai menyakitkanmu secara fisik," tambahnya lagi. Namun, kasus ini ternyata terus bergulir hingga sampai ke meja hijau. Di persidangan, sempat dihadirkan seorang antropolog yang mengatakan bahwa budaya masyarakat setempat memang mengharuskan isteri selalu taat kepada suami, sehingga jika isteri bersalah maka suami boleh memukul isterinya sepanjang tidak berakibat fatal. Hakim mempertanyakan ukuran fatal dan tidak fatal itu. Menurut antropolog tersebut, ukuran fatal antara lain adalah jika si isteri sampai harus dirawat inap di rumah sakit. Majelis hakim (kebetulan semuanya terdiri dari hakim wanita) berusaha agar Hardi mengakui perbuatan memukul isterinya. Hakim Ketua bahkan pernah bertanya, "Hardi, apakah kamu telah berhenti memukul isterimu?" Hardi mengangguk. Namun, pada saat membacakan pembelaannya Hardi menolak bahwa ia pernah memukul isterinya. Ia justru balik menuduh persidangan itu telah melanggar prinsip imparsialitasnya karena semua hakimnya adalah wanita. Hakim Ketua menilai pernyataan Hardi telah menghina persidangan. "Semua hakim telah bersumpah untuk memutus dengan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga tidak perlu diragukan bahwa kami pun pasti berbuat adil dalam mengadili kasus ini," katanya.