8.2.11

Asas Sens-Clair dan Penalaran Hukum

Oleh Shidarta

Dalam penalaran hukum, kemampuan kita untuk memahami makna sumber hukum merupakan hal yang sangat penting. Sumber hukum ini bisa berupa teks undang-undang, putusan pengadilan, naskah perjanjian, dan sebagainya. Perbedaan dalam memberikan makna atas suatu sumber hukum inilah yang kerap merupakan cikal bakal sebuah sengketa.

Pada hakikatnya, jika sebuah teks sudah jelas maknanya, tidaklah diperkenankan bagi siapapun untuk memberikan penafsiran secara berbeda. Sebagai contoh, dalam sebuah klausula perjanjian dinyatakan secara eksplisit: "Apabila terjadi peselisihan di antara para pihak di dalam kontrak tersebut di kemudian hari, maka para pihak akan menyelesaikan perselisihan itu di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung." Di sini sudah sangat jelas bahwa pengadilan yang ditunjuk oleh para pihak adalah Pengadilan Negeri Bandung, sehingga keliru jika ada salah satu pihak yang menafsirkan perjanjian ini membolehkan perselisihannya diselesaikan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kejelasan pemaknaan ini dikenal dengan asas sens-clair. Namun, bagaimana jika teks klausula perjanjian tadi tidak menggunakan kata "akan menyelesaikan" tetapi "dapat menyelesaikan"? Adakah perbedaan yang signifikan antara kata AKAN dan kata DAPAT dalam klausula itu? Di sini para ahli hukum kemudian masuk ke dalam diskusi tentang metode-metode penafsiran.

Contoh yang lebih konkret dikisahkan dalam putusan MA Negeri Belanda (HR, 1 April 1920) dalam perkara Perusahaan Asuransi Unitas versus Perusahaan Asuransi Helvetia. Kasusnya sebagai berikut. Sebuah perusahaan asuransi bernama Unitas menerima pertanggungan asuransi sebanyak 82 kapal ikan. Pada tahun 1915, satu kapal yang ditanggungnya itu bernama "De Reuyter" (kode Ma147) menabrak ranjau laut. Karena tahu risiko demikian besar kemungkinan bakal terjadi di kemudian hari, Unitas lalu mengasuransikan lagi (re-asuransi) risiko-risiko atas 81 kapal yang ada di dalam beban perusahaannya itu ke perusahaan lain, yakni Asuransi Helvetia. Rupanya, suatu ketika memang terjadi lagi kecelakaan menimpa salah satu dari 81 kapal tadi, yakni atas kapal berkode Ma47. Pihak Unitas segera mengajukan klaim agar Helvetia membayar reasuransi itu. Namun, dalam polis re-asuransi itu terdapat keanehan. Dari daftar 81 kapal di dalam polis itu ternyata tidak terdapat kapal berkode Ma47, yang justru ada adalah kode Ma147 dengan nama kapal "Johanna". Padahal, kode Ma147 ini seharusnya untuk kapal "De Reuyter" yang sudah tenggelam. Atas kekeliruan ini pihak Helvetia menolak membayar uang re-asuransi tadi. (Catatan: bagaimana kelanjutan kasus ini sengaja tidak dibahas dalam uraian ini).

Apakah penolakan pihak Helvetia ini dapat dibenarkan? Untuk menjawab persoalan ini, hakim menggunakan ketentuan dalam BW, yang dalam KUH Perdata versi Indonesia tercantum pada Pasal 1342-1351. Bunyi Pasal 1342 ini mencerminkan asas sens-clair, sedangkan pasal-pasal selanjutnya adalah urut-urutan metode penafsiran yang dimungkinkan apabila asas sens-clair itu tidak terpenuhi.

Ada baiknya Anda dapat menelaah metode-metode penafsiran apa saja yang diperkenankan untuk dilakukan secara berurutan (khususnya oleh hakim) tatkala ketentuan Pasal 1342 tidak terpenuhi. Tentu saja, kesimpulan Anda atas metode-metode ini perlu diberikan penjelasan. Tidak ada salahnya, untuk memperdalam penjelasan Anda, kasus Unitas versus Helvetia dapat dipakai sebagai contoh.

Latihan ini dimaksudkan untuk mengajak Anda memahami asas sens-clair sekaligus mengkritisi makna sebuah teks undang-undang dengan mengaitkannya pada sebuah kasus konkret. Selamat berlatih!