10.4.11

Pola Penalaran yang Mengandung Penemuan Hukum

Dalam perkuliahan di kelas telah dibahas tentang metode penemuan hukum. Pada dasarnya, penemuan hukum dilakukan dalam hal ada unsur atau terma dalam suatu peristiwa hukum yang memerlukan penjelasan lebih jauh daripada sekadar makna yang tersaji di dalam norma-norma hukum yang ada, khususnya norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan. Hal ini dapat terjadi dalam keadaan ketidakjelasan (multitafsir) dari norma hukum itu atau dalam keadaan kevakuman.

Seorang hakim yang mengadili kasus pidana, misalnya, tatkala mempertimbangkan sebuah pasal (atau rangkaian pasal) yang didakwakan jaksa kepada terdakwa, tentu pertama-tama harus memperhatikan keseluruhan makna pasal (atau pasal-pasal) itu. Dalam perkuliahan, telah diberikan satu pedoman untuk memahami makna ini dengan menganalisis unsur-unsur normanya, yakni siapa subjek yang menjadi sasaran norma itu (normadressaat), apa modus perilaku yang dipesankan (modus van behoren), apa rangkaian perilaku yang menjadi objek norma ini (normgedrag), dan apa kondisi-kondisi yang dipersyaratkan (normcondities). Sayangnya, keterampilan untuk membuat analisis unsur-unsur norma ini kurang ditekankan dalam pembelajaran di fakultas hukum, sehingga kerap menjadi awal kesalahan mahasiswa dalam membaca sebuah teks normatif.

Ketentuan normatif inilah yang ditempatkan oleh hakim menjadi premis mayor. Sementara fakta-fakta hukum yang ditemukan oleh hakim selama persidangan akan ditempatkan hakim menjadi premis minor. Jika semua unsur-unsur normatif itu bisa tepat diterapkan untuk kasus itu, maka sebenarnya tidak terjadi sama sekali penemuan hukum. Hakim hanya mempraktikkan sebuah penerapan hukum. Akan berbeda halnya jika premis mayor yang disajikan tidak dapat sepenuhnya tepat, mengingat ada unsur-unsur dalam premis mayor itu yang masih membutuhkan penafsiran atau konstruksi tersendiri. Dalam hal inilah, hakim tidak boleh buru-buru membuat konklusi akhir. Ia harus melakukan silogisme antara, yakni sebuah silogisme yang diajukan sebelum ia sampai pada sebuah silogisme akhir (untuk menjatuhkan vonis).

Suatu contoh sederhana dapat diberikan sebagai berikut. Pasal 368 ayat (1) KUHP mengatakan, "Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, atau supaya memberi hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena PEMERASAN, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."

Terjadi kasus: Juned adalah seorang bendahara sebuah arisan desa di Bekasi. Ada sekitar 50 KK mengikuti arisan ini, sehingga suatu ketika Juned bisa memegang uang sampai Rp50 juta. Namun, tiba-tiba Juned menghilang berbulan-bulan, sehingga warga kampungnya menjadi gempar. Seorang warga bernama Nasir yang merasa Juned sudah menggelapkan uangnya, berusaha mencari Juned yang bersembunyi di rumah salah seorang isterinya di kampung lain. Juned menolak mengembalikan uang Nasir. Karena merasa ditolak, Nasir lalu berteriak meminta isteri Juned untuk menyerahkan televisi di rumah itu. Sambil ketakutan, isteri Juned membiarkan saja ketika televisi itu dibawa pergi oleh Nasir. Beberapa minggu kemudian, polisi menangkap Nasir dan kasusnya kemudian dibawa ke pengadilan dengan dakwaan melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP.

Ketika hakim memeriksa tentang unsur "secara melawan hukum" dari Pasal 368 ayat (1) KUHP itu, rupanya hakim mempunyai pendapat bahwa hukum di sini tidak boleh hanya dimaknai sekadar undang-undang dalam ranah pidana. Kebiasaan dalam ranah hukum perdata juga merupakan hukum. Hakim melihat bahwa terdakwa di sini hanya mengambil sebuah benda yang nilainya memang sebanding dengan uang miliknya yang digelapkan oleh Juned, langsung disaksikan oleh Juned sendiri tanpa ada pencegahan. Televisi ini adalah televisi yang dibeli sendiri oleh Juned dan bukan milik orang lain. Hakim juga menerima informasi dari saksi-saksi bahwa tindakan mengambil (menyita) barang-barang milik seseorang yang menunggak kewajiban arisan di kampung itu adalah sesuatu yang kerap terjadi dan kebiasaan ini bisa ditolerir asalkan penagihan dilakukan langsung di hadapan debitur (pemilik barang) dan tindakan pengambilan itu tidak dicegah oleh si pemilik barang.

Pemaknaan baru yang ingin diberikan oleh hakim ini harus dituangkannya ke dalam sebuah silogisme antara, yang kurang lebih berbunyi sebagai berikut:

Premis mayor
Semua tindakan mengambil barang milik seseorang yang beritikad baik untuk melunasi kewajiban arisan desa dan dengan melanggar kebiasaan setempat ADALAH perbuatan yang dilakukan secara melawan hukum menurut ketentuan Pasal 368 ayat (1) KUHP.
Premis minor
Tindakan kreditur [Nasir] terhadap debitur [Juned] yang terus berkelit membayar utang dengan mengambil barang [televisi] senilai besaran utang melalui penagihan langsung dengan tanpa pencegahan ADALAH tindakan mengambil barang milik seseorang yang TIDAK beritikad baik untuk melunasi arisan desa dan dengan TIDAK melanggar kebiasaan setempat.
Konklusi
Tindakan kreditur [Nasir] terhadap debitur [Juned] yang terus berkelit membayar utang dengan mengambil barang [televisi] senilai besaran utang melalui penagihan langsung dengan tanpa pencegahan ADALAH BUKAN perbuatan yang dilakukan secara melanggar hukum menurut ketentuan Pasal 368 ayat (1) KUHP.


Proposisi "Semua tindakan mengambil barang milik seseorang yang beritikad baik untuk melunasi kewajiban arisan desa dan dengan melanggar kebiasaan setempat ADALAH perbuatan yang dilakukan secara melawan hukum menurut ketentuan Pasal 368 ayat (1) KUHP" yang hadir di premis mayor inilah yang dapat dianggap sebagai penemuan hukum dari hakim. Di sini hakim memberi penafsiran sosiologis, yang mengaitkan kebiasaan (desa) setempat sebagai tolok ukur untuk menilai apakah perbuatan itu melawan hukum atau tidak melawan hukum. (*)