4.12.11

Tugas Silogisme Putusan MA No. 658 K/Pdt/2006

Putusan Mahkamah Agung Nomor 658 K/Pdt/2006 (tanggal 8 September 2006) mengadili di tingkat kasasi kasus perdata gugatan dari Chan Wai Khan terhadap PT (Persero) Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia dan PT Trophy Tour. Dalam tugas kelompok, mahasiswa telah diminta membuat kronologis kasusnya. Oleh sebab itu dalam blog ini kronologis kasus tersebut tidak lagi dibentangkan.

Di Pengadilan Negeri Medan dan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, pihak penggugat telah dikalahkan. Putusan MA ini juga tidak mengabulkan gugatan penggugat/pembanding/pemohon kasasi. Dalam analisis di bawah ini dapat diperhatikan bahwa pertimbangan majelis hakim kasasi sangat minimalis. Majelis hakim kasasi sama sekali tidak membahas pokok perkara yang diajukan pihak penggugat, melainkan lebih berdalih di balik ketentuan prosedural formal Pasal 30 UU Mahkamah Agung. Hal-hal demikian sangat lazim ditemukan dalam putusan-putusan kasasi. 


Mari kita lihat lebih jauh. Ada 28 alasan yang diajukan oleh pihak penggugat yang kemudian dibedakan oleh majelis hakim kasasi dalam tiga kelompok. Ketiga kelompok alasan tersebut ternyata pada hakikatnya sama formulasinya, sekalipun rumusan premis minornya ditampilkan dalam beberapa versi.

Alasan ke-1 s.d. 4, 6, 7, 10, 11, 19, 24, 26, 27, dan 28:

Premis mayor
Semua alasan menurut Pasal 30 UU Mahkamah Agung (terbatas hanya karena “tidak dilaksanakan atau ada kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangya”) ADALAH dalih-dalih yang dipakai oleh Mahkamah Agung dalam memeriksa putusan Judex facti di tingkat kasasi.
Premis minor
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dipandang onvoldoende gemotiveerd  ADALAH bukan alasan menurut Pasal 30 UU Mahkamah Agung (terbatas hanya karena “tidak dilaksanakan atau ada kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangya”).
Konklusi
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dipandang onvoldoende gemotiveerd ADALAH bukan dalih-dalih yang dipakai oleh Mahkamah Agung dalam memeriksa putusan Judex facti di tingkat kasasi.


Premis mayor yang sama juga dipakai dalam silogisme yang dibangun untuk alasan ke-5, 8, 9, 12 s.d. 18, 20, 22, 23, dan 25. Perbedaannya hanya pada premis minor yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

Premis mayor
Semua alasan menurut Pasal 30 UU Mahkamah Agung (terbatas hanya karena “tidak dilaksanakan atau ada kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangya”) ADALAH dalih-dalih yang dipakai oleh Mahkamah Agung dalam memeriksa putusan Judex facti di tingkat kasasi.
Premis minor
Penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan ADALAH bukan alasan menurut Pasal 30 UU Mahkamah Agung (terbatas hanya karena “tidak dilaksanakan atau ada kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangya”).
Konklusi
Penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan adalah bukan dalih-dalih yang dipakai oleh Mahkamah Agung dalam memeriksa putusan Judex facti di tingkat kasasi.

Lagi-lagi, premis mayor untuk pertimbangan atas alasan ke-21 juga sama. Perhatikan premis minornya.

Premis mayor
Semua alasan menurut Pasal 30 UU Mahkamah Agung (terbatas hanya karena “tidak dilaksanakan atau ada kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangya”) ADALAH dalih-dalih yang tidak relvan untuk dipakai oleh Mahkamah Agung dalam memeriksa putusan Judex facti di tingkat kasasi.
Premis minor
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dipandang mempersempit penafsiran perbuatan melawan hukum ADALAH bukan alasan menurut Pasal 30 UU Mahkamah Agung (terbatas hanya karena “tidak dilaksanakan atau ada kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangya”).
Konklusi
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dipandang mempersempit penafsiran perbuatan melawan hukum ADALAH bukan dalih-dalih yang tidak relevan untuk dipakai oleh Mahkamah Agung dalam memeriksa putusan Judex facti di tingkat kasasi.

Pertimbangan di atas sebenarnya sudah mengarah ke jumping to conclusion. Formulasi di dalam premis minor, yaitu: (1) Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dipandang onvoldoende gemotiveerd  adalah bukan alasan menurut Pasal 30 UU Mahkamah Agung; (2)  Penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan adalah bukan alasan menurut Pasal 30 UU Mahkamah Agung; dan (3) Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dipandang mempersempit penafsiran perbuatan melawan hukum adalah bukan alasan menurut Pasal 30 UU Mahkamah Agung, semuanya harus terlebih dulu dielaborasi di dalam pertimbangan majelis hakim kasasi. Apakah benar bahwa ketiga hal di atas benar-benar BUKAN alasan sebagaimana dimaksud Pasal 30 UU Mahkamah Agung.


Putusan MA No. 658 K/Pdt/2006 ini tidak ditemukan adanya penemuan hukum baru. Sebuah penemuan hukum memerlukan terobosan ke arah pemaknaan baru. Kaidah hukum baru tersebut biasanya bersifat memperluas makna, bukan mempersempit makna.